FTIS – BEBERAPA KENANGAN, PIKIRAN, DAN TERAWANGAN (3/3)

Dalam rangkaian Dies 25 tahun FTIS UNPAR, panitia menerbitkan bunga rampai, berupa kisah-kisah dari warga FTIS.


30 Januari 2018, oleh Aloysius Rusli

sambungan dari bagian pertama dan kedua.

  1. Dialog ilmu dengan iman, pertama kali saya baca istilahnya dalam Konstitusi Apostolik, suatu peraturan pokok dalam Gereja/Umat yang beragama Katolik, yang ditulis/diterbitkan oleh Sri Paus, ketika itu Johannes Paulus II, di Vatikan, Roma. Konstitusi itu membahas hakekat dan tugas suatu universitas katolik, dan diterbitkan tahun 1990. Biasanya Konstitusi dan surat edaran terbitan Vatikan disebut-ringkas dengan beberapa kata awalnya, dalam hal ini “Ex Corde Ecclesiae” yang menyebut bahwa universitas katolik “muncul dari jantung Gereja“. Hal ini dapat diartikan bahwa Gereja/Umat Katolik mengakui bahwa logika, penalaran yang didalami di universitas, merupakan suatu ciri khas, ciri pokok, jantung bagi umat manusia. Dengan logika dan dilengkapi tindakan menguji-memeriksa-mencoba, manusia nyata telah berhasil mengembangkan ilmu yang konsisten, secara internal, dan secara eksternal dengan jagad raya. Rupanya Allah Pencipta jagad raya ini (suatu asumsi!) mau menampilkan bahwa konsep “konsistensi” menjadi pedoman dalam memahami jagad raya ini. Dapatlah lalu ditanyakan apa gerangan tujuan Allah menampilkan penalaran dan konsistensi ini. Jelas ini tergolong meta-fisika / filsafat karena tidak dapat diukur.
  2. Saya sudah mendengar ihwal penyiapan Konstitusi Ex Corde Ecclesiae ini sejak Pak Koesdarminta bercerita tahun 1985an ketika menjabat Rektor Unpar, bahwa dia diundang dan berjumpa dengan beratus rektor universitas katolik di Vatikan beberapa kali, dalam rangka memberi masukan kepada Sri Paus tentang pengalaman dan saran bagi dokumen yang sedang dirancang tersebut. Saya berhasil meminjam beberapa bacaan yang diterima Pak Koesdarminta saat itu, walaupun saya merasa tidak dapat berkontribusi apapun karena semuanya tergolong baru bagi saya. Sebenarnya sejak tahun 1978an bergaul dalam YKPTK dengan rektor dan pengurus yayasan 4 universitas katolik di Indonesia (Atma Jaya Jakarta, Unpar, Sanata Dharma Yogyakarta, Widya Mandala Surabaya), saya mulai terajak memikirkan untuk apa ada istilah “katolik” bagi suatu universitas. Sayapun sempat menemukan bacaan dari IFCU (International Federation of Catholic Universities, disahkan tahun 1948 oleh Sri Paus) yang membahas tentang visi bagi suatu unika (universitas katolik), dan saya menjadi sadar akan hadirnya asosiasi seperti ACUCA (Association of Christian Universities and Colleges in Asia; didirikan ~ akhir 1940an), ASEACCU (Association of Southeast and East Asian Catholic Colleges and Universities sebagai pengelompokan regional IFCU), Aptik (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia, suatu peluasan sifat dari YKPTK sejak tahun 1984 di Surabaya), yang menurut saya bermanfaat sebagai forum jumpa dan komunikasi antar dosen dan pengelola universitas kristen / katolik di Asia, tentang visi dan realitas jaman (dan alam). Visi suatu universitas katolik dapat dikatakan sebagai suatu komunitas yang bersama mencari kebenaran, dengan menyadari bahwa kebenaran itu bukan hanya terukur-ilmiah saja.
  3. Semua ini lambat laun menghasilkan suatu kesadaran bahwa untuk menjadi manusia yang utuh (humanum yang religiosum) yang tertarik ke arah “kebenaran”, perlulah menggunakan ilmu dan iman “bagaikan dua sayap” (pernyataan dalam ensiklik – surat edaran “Fides et Ratio” – “iman dan nalar” tulisan Paus Johannes Paulus II pada tahun 1998) untuk meningkat-naik menuju ke kebenaran itu, yang bukan hanya terdiri atas segi jasmani, melainkan juga memiliki segi rohani. Hasil refleksi awal tentang ini sempat saya presentasikan sebagai Oratio Dies Unpar pada tahun ~2001 di Gedung Serba Guna Unpar, dengan judul “Ilmu dan Iman”; kata ilmu saya dahulukan karena saya merasa datang dari pihak ilmu. Saya ingat ada seorang dosen Unpar (sayangnya saya lupa siapa, maaf) yang seusai acara itu berkata kepada saya bahwa isi Oratio tentang ilmu dan iman ini memang perlu diangkat dan dibicarakan di Unpar; atau mungkin yang digarisbawahinya adalah contoh yang saya sebut, bahwa salah satu konsekuensi menyadari saling-membutuhkannya ilmu dan iman adalah bahwa kekerasan oleh (beberapa) dosen yang merasa perlu marah-marah kepada mahasiswa, atau (beberapa) mahasiswa senior yang tega memperlakukan mahasiswa baru dengan keras, tidaklah sesuai dengan sikap-berpasang ilmu dan iman tersebut.
  4. Pada akhir tahun 2015, Romo Agus Rachmat Widiyanto, OSC almarhum, pernah pejabat Rektor Unpar tahun 1993-1994, memberitahu saya melalui surat elektronik, bahwa akan ada kursus on-line 12 sesi berjudul “Science and Faith in Dialogue”, yang dikelola oleh Universitas Katolik di Barselona, Katalonia, Spanyol, bersama Vatikan. Ternyata kursus US$ 25,- itu berlanjut dengan bagian kedua, sehingga total (selama ~18 bulan) saya mengikuti 24 sesi @ ~1 jam yang memperkaya wawasan saya tentang dialog ilmu dan iman ini. Satu hal yang menarik bagi saya adalah ditampilkannya suatu hipotesis bahwa manusia mati yang “kelak” dibangkitkan pada Hari Pengadilan Terakhir, mestinya tetap bertubuh, tetapi yang dapat saja menembus dinding rumah, jadi mestinya tersusun dari “atom-atom” yang bersifat dapat menembus atom-atom yang dikenal dalam Fisika, yang tidak lagi akan mengalami peluruhan dan penguraian, tidak perlu mengalami penyakit, juga tiada menimbulkan kebutuhan akan makan-minum, tetapi tetap dapat makan-minum jika perlu, dan bersifat “kekal”. Secara fisika, pengertian semacam itu belum dikenal, tetapi tentu juga belum dapat dinyatakan tidak benar karena memang belum diketahui bagaimana cara mengukurnya.
  5. Suatu rangkuman sementara yang saya peroleh dari refleksi tentang hasil dialog ilmu dan iman ini adalah, bahwa setelah usia ~5 gigatahun Bumi ini, ~ 5 kilotahun yang lalu manusia mulai dapat menuliskan pemikirannya di atas batu dsb, dan dengan demikian mengawali sejarahnya, setelah makin melaju-meluas pemikiran-pemikiran yang terkembang olehnya. Melalui pemikir dan pengamat lalu pematematika dan pencoba-penguji eksperimental, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, lalu Galileo, Newton, Coulomb, Ampere, Maxwell, Einstein, Schrödinger, Dirac, Gell-Mann, Higgs, kita ditunjuki betapa melalui matematika secara kuantitatif, kita berhasil melukiskan cara kerja alam dengan ketelitian sampai (saat ini) ~8 angka penting. Anehnya, bersamaan dengan itu ditemukan juga bahwa ada dualitas-dualitas seperti dualitas konsep partikel-gelombang yang menunjukkan keterbatasan bahasa dan pemikiran yang kita gunakan. Kita telah berhasil mencapai tingkat ketelitian kuantitatif yang hebat melalui ilmu, tetapi kitapun masih harus mengakui bahwa ada ketakpastian-ketakpastian kuantitatif halus yang entah hakiki entah hanya akibat keterbatasan daya nalar / daya kreatif manusia. Capaian intelektual manusia ini lalu tetap saja membukakan pintu untuk dua asumsi ekstrem.
    Ekstrem yang satu menganggap dapat adanya suatu spektrum kontinu asumsi-asumsi, dengan konsep Allah hanya suatu asumsi khayal-fiktif akibat keterbatasan daya nalar manusia saja. Allah sekedar semacam “God of the gaps”, yang bertanggungjawab hanya atas segala misteri yang belum sempat dipahami manusia. Jadi lama-lama cakupan kuasa Allah diperkirakan akan makin menyempit lalu lenyap.
    Ekstrem yang lainnya meyakini kebenaran asumsi bahwa Allah benar ada (Pancasila termasuk di sini), dan bahwa Allah adalah Sang Maha Ada yang hendak mengajak mahluk ciptaanNya untuk mengerahkan upaya totalnya, berkembang menuju kesempurnaan diriNya, dengan menggunakan seluruh daya nalar dan daya ciptanya.
    Tampaknya spektrum asumsi ini sama-sama takkan dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah (dengan diamati-teliti, dinalarkan-tajam, diuji secara terukur), jadi tergolong non-fisika ataupun meta-fisika ataupun filsafat. Yang tampaknya masih tersisa bagi manusia adalah kerelaan (dan permohonan rahmat!) berserah-diri dalam memilih asumsi yang lebih “betul”. Kehendak bebas tampaknya (suatu asumsi pula) menjadi fasilitas yang disediakan bagi sang manusia untuk memilih secara bertanggungjawab. Saya lebih condong ke ekstrem terakhir, karena terasa lebih dapat diperdalam, dan lebih memperkaya wawasan sedunia, memungkinkan adanya konsep cinta kasih dan harapan, melalui asumsi/kepercayaan/iman, dalam meraih keindahan dan kebahagiaan; dan bukannya membuat diri sekedar menjadi nihilis-pesimis-tak-bertujuan-hidup-luhur “yang hanya kebetulan saja ada”.
    Menurut saya, hidup tanpa tujuan luhur merupakan hidup yang condong kosong, hambar, tanpa gairah yang berbobot.
  6. Tersusunnya rumusan SINDU (Spiritualitas dan Nilai Dasar Unpar) oleh suatu tim yang dibentuk atas inisiatif Rektor Prof Triweko (2011-2015), merupakan pendorong bagi saya untuk terus mendalami makna di balik konsep “dialog ilmu dan iman”, makna di balik materi kuliah, termasuk makna di balik konsep Etika Profesi (sejak tahun 1995an), dan sejak pertengahan tahun 2017, makna di balik Filsafat Sains. Sebenarnya kuliah Filsafat Ilmu sudah sempat saya terima penugasannya dari Program Studi Pendidikan Fisika di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, sejak tahun 2014an. Tanggapan dan pertanyaan mahasiswa pascasarjana UPI yang umumnya guru Fisika SMA di Jawa Barat dan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, merupakan pengayaan dan pendalaman refleksi saya tentang dialog ilmu dan iman itu. Dengan demikian saya merasa melihat betapa Allah telah membimbing saya dalam hidup saya ini, untuk makin mendalami keutuhan diri sebagai manusia, keutuhan ilmu dan iman, keutuhan dosen sebagai guru yang mengajar maupun mendidik, melalui sikap selain melalui tindakan di kelas dan di luar kelas.
  7. Pada Januari 2015, 3 hari sebelum acara Dies Natalis Unpar, saya diberitahu melalui telepon oleh ibu Prabaningrum, Sekretariat Yayasan Unpar, bahwa saya akan diberi penghargaan Arntz & Geise dan menjadi “warga utama Unpar” pada perayaan Dies Natalis Unpar hari Sabtu 17 Januari 2015. Hal itu merupakan peristiwa yang menyenangkan, dan memang saya rasakan sebagai penghargaan besar atas karya saya di Unpar. Dana seratus megarupiah yang ternyata menyertainya saya terima dengan agak terperanjat, karena tidak menduga sebesar itulah penghargaan itu secara finansial. Adanya penghargaan seperti itu menurut saya bagus, selama memang disaring dengan baik, seperti yang rupanya memang diniatkan, karena setelah acara tersebut, tampaknya belum ada lagi pemberian penghargaan Arntz-Geise lagi, setelah terjadi tiga kali sejak tahun 2013. Setidaknya, adanya perhatian dan penghargaan itu terasa membenarkan semangat saya untuk terus berkarya sebaik mungkin, termasuk mendalami dialog ilmu dan iman ini.
  8. Maka tibalah saya pada akhir refleksi diri saya ini. Bagaimana gambaran-terawangan saya tentang masa depan FTIS dan komunitas dosennya, peran saya, dan peran Unpar?
    Tampaknya minat tentang dialog ilmu dan iman tidaklah terlalu meluas di lingkungan dosen, hal yang tergolong biasa; rupanya memang hanya beberapa dosen tertarik mendalami ini, seperti juga hanya beberapa orang yang tertarik mendalami Fisika. Itu selaras dengan pentingnya sikap pluralistik komunitas akademik dan komunitas manusia, karena minat dan bakat masing-masing manusia memang unik, dan tidak patut dipaksakan. Kehendak bebas manusia (saya percaya bahwa ini memang ada, meskipun ada yang dengan yakin membantahnya) patut dihargai, tetapi juga perlu dihargai adanya visi dan misi kita sebagai komunitas Unpar, sehingga setiap dosen hendaknya sedikit banyak ikut berpartisipasi, bukannya menolaknya.
    Setidaknya, tentu tiap dosen patut terus memperdalam ilmunya, sambil menyumbangkan teladan sikap dan tindakan yang sesuai dengan SINDU, kepada para mahasiswa dan para staf administrasi. Semoga para mahasiswa Unpar dapat terus terbimbing oleh kata dan sikap, menyadari adanya etika profesi yang patut dijalankan, sambil tak lupa menjalaninya dengan senantiasa senyum-bahagia dan/atau keramahan kepada semua pihak; terlebih pihak yang lebih lemah daripada kita.
    Dukungan ilmu melalui kuliah layanan ke FT dan FTI tentu juga merupakan kesempatan meluaskan pengaruh keteladanan dan keguyuban yang ada di FTIS. Partisipasi seperti yang sudah dilakukan dosen FTIS melalui berbagai tugas Unpar, merupakan juga sarana untuk berpartisipasi meluaskan pengaruh SINDU di Unpar.
  9. Peran saya mestinya akan makin meredup dengan bertambahnya usia dan susutnya kemampuan fisik dan mental. Sesudah itu, semoga saya masih dapat meneruskan karya pendalaman ini dengan menjalani masa usia lanjut ini, sampai tiba saatnya berhenti atau terhenti, karena sudah tidak dapat berkarya di bidang akademik ini. Semoga setelah itu saya masih dapat menikmati perkembangan dunia dan melayani lingkungan di sekitar saya, sambil terhibur antara lain melalui bacaan majalah TIME yang berangsur sudah terlanggan sampai ke tahun 2031, sambil setiap saat makin siap dipanggil Tuhan, yang tentu patut menyenangkan karena akan merupakan akhir tugas saya di dunia ini. Semoga saya lalu dapat beristirahat kekal di samping-Nya, sambil (kalau masih dirasa perlu dalam keadaan kekal itu) mengukuhkan dan meluaskan kepahaman tentang dalam dan lebarnya makna ilmu dan iman di balik jagad raya ini. Tercapailah impian di akhir masa SMA saya itu.
  10. Bagaimana tentang peran Unpar? Menurut saya, dengan berbagai upaya akademis dan pengakraban mengembangkan Unpar menuju keadaan yang humanum religiosum / sepenuhnya-manusia berilmu termasuk bersegi keakrabannya dengan Tuhan, Unpar dapat menjadi “great” dengan merawat keutuhan-kedalaman jasmani-rohani itu. Semoga yang berminat mendalami dialog ilmu dan iman ini berangsur juga bertambah. Rasanya itu suatu kontribusi khas yang dapat diberi oleh Unpar kepada masyarakat Indonesia. Tentu dapat saja ada yang kurang sependapat-penuh dengan ini.
X